Kado untuk Facebook

Seorang lelaki tampak kusut. Ia membuka matanya dengan malas. Satu-satunya yang membuat ia melek adalah telepon seluler. Sembari sempoyongan bangun, lelaki itu menyambar ponselnya, membuka situs Facebook, dan mengubah status diri di situs tersebut. “Brrr.. dingin banget. Tidur lagi ah.” Lalu dia tidur lagi.
Itu bukan kisah orang-orang metropolitan di Kota New York, melainkan kisah di negeri ini, kisah para sahabat saya pecandu Facebook. Sisirlah setiap helai kota besar di negeri ini, di sana, di pinggir Kali Mas, Surabaya, yang kumuh; di Ciledug, Jakarta, yang sesak, ada orang-orang yang tersihir Facebook seperti itu.
Facebook adalah sebuah teriakan. Saat didirikan pertama kali oleh Mark Zuckerberg di kamar asramanya di kampus Universitas Harvard, Zuckerberg menuliskan ledakan amarahnya di situs tersebut saat cintanya ditampik seorang gadis. “Dasar sundal,” begitu ia menulis.

Itu lima tahun lalu. Kini siapa yang tak tersihir dengan Facebook? Inilah situs jejaring sosial terbesar di dunia dengan jumlah anggota 150 juta orang–sekitar 700 ribu orang berasal dari Indonesia. Bandingkan dengan rivalnya, MySpace, yang anggotanya 130 juta orang, meski ia lahir lebih dulu.
Situs ini pula yang menjadi salah satu kunci kemenangan Barack Obama saat pemilu tahun lalu. Facebook menghubungkan Obama dengan para pemilih belia.

Lima tahun telah mengubah Zuckerberg menjadi triliuner. Tapi apakah pada ulang tahunnya pekan ini Facebook juga mendapat kado: berubah menjadi mesin uang? Belum.
Meski menggenggam ratusan juta orang, situs berbasis Web 2.0 seperti Facebook dan MySpace bukanlah situs yang bisa mengkonversi jumlah anggota menjadi uang tunai. MySpace, contohnya, pendapatannya jauh dari harapan. Induk usahanya, News Corp, berharap bisa menggali miliaran dolar dari ratusan juta anggota. Tapi pada 2008 mereka cuma mengantongi US$ 600 juta (sekitar Rp 6,6 triliun).
Apa yang kurang? Di Facebook sedikitnya saban hari 15 juta orang mengubah status diri, setiap bulan 850 juta foto diunggah ke situs itu. Setiap orang rata-rata punya 120 teman. Mengapa itu tak bisa menjadi duit?.
“Kesuksesan Facebook bukanlah seperti membuat slum-dunk,” kata Adam Lashinsky dari majalah Fortune.
Bukan cuma Facebook dan MySpace yang masa depannya tak terpetakan. Situs Web 2.0 (ini istilah dari penerbit buku Tm O’Reilly empat tahun lalu yang menggambarkan gelombang Internet baru yang membiarkan pengguna berbagi berita, foto, atau video) lainnya juga belum jelas nasibnya. YouTube yang kondang pun sepi iklan. Padahal Google telah mengeluarkan uang US$ 1,65 miliar untuk membeli YouTube. Twitter juga sami mawon nasibnya walau memiliki 4 juta anggota.

Harga iklan di Facebook masih kalah jauh oleh portal konvensional yang memakai teknologi Web 1.0 seperti Yahoo!, yang bisa memungut tarif iklan 30 kali lipat iklan di Facebook.
Lalu berapa lama situs-situs web 2.0 itu bisa bertahan? Uanglah yang akan bicara.
Bakal bangkrut atau tidak Facebook, bagi teman saya, itu tak penting. Yang penting dia ikut demam Facebook seperti para politikus lainnya. Dia mencari teman Facebook sebanyak-banyaknya, memasang wajah terganteng–nyengir dengan kawat gigi–dan memasang sikap sok akrab. “Supaya terpilih, Mas. Saya caleg daerah Banyumas-an.” Halah.

sumber: Burhan Sholihin

0 komentar: