Masker Rambut Eksotis Buatan Sendiri

Hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memperoleh rambut sehat berkilau.

masker wajah (dok. Corbis)
Jika Anda mengalami bad hair day, sudah saatnya memikirkan perawatan yang dapat mengembalikan kemilau rambut. Jangan menunggu hingga akhir pekan, karena Anda dapat melakukannya kapan pun diinginkan.
Untuk memperbaiki rambut rusak, ada cara sederhana dan tak memakan waktu. Anda tak perlu lagi berburu perawatan rambut mahal. Dari bahan-bahan yang ada di rumah, Anda bisa membuat masker rambut alami.

Hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memperoleh rambut sehat berkilau. Berikut beberapa masker rambut alami, seperti dikutip Times of India.

Masker telur1. Kocok dua kuning telur dengan dengan dua sendok makan air
2. Oleskan pada kulit kepala dan rambut, lalu pijat lembut
3. Biarkan selama 10-15 menit dan cuci dengan sampo ringan.

Masker pisang1. Hancurkan sebuah pisang dan campur dengan satu butir telur kocok, tiga sendok madu, tiga sendok makan susu, dan lima sendok makan minyak zaitun
2. Oleskan pada rambut dan pijat lembut setelah 15-30 menit tergantung pada tingkat kerusakan rambut. Cuci dengan sampo lembut

Masker yogurt

1. Pisahkan kuning telur dan kocok putih telur hingga berbusa
2. Tambahkan enam sendok makan yoghurt dalam bahan masker, pijat rambut dengan masker dan tunggu 15-30 menit
3. Cuci dengan sampo ringan.

Masker susu dan madu

1. Campur satu sendok makan madu dengan secangkir susu full cream.
2. Oleskan secara merata pada rambut
3. Cucilah dengan sampo ringan setelah 15 menit.
(umi)


vivanews - sebuah catatan

Kota Beragama

Jumat pekan lalu tersiar berita bahwa Wali Kota Bogor Diani Budiarto melarang gereja dibangun di jalan yang bernama islami — sebuah larangan yang terlalu dibuat-buat dan tidak masuk akal.

Tetapi yang menarik adalah informasi yang saya dapatkan dari Twitter sepanjang Jumat (19/8) malam hingga Sabtu dini hari. Ada berpuluh-puluh twit mengenai keberadaan masjid, pura, kelenteng, dan gereja di berbagai kota di seluruh Indonesia.


Masjid dan gereja di Jalan Enggano, Tanjungpriok, Jakarta. Foto: @nbudianggoro


Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, rumah ibadah di kota-kota Indonesia selalu berada dekat satu sama lain, sebagaimana sarana-sarana lainnya. Di negeri lain, hal itu sudah berlangsung ribuan tahun.

Sebab, demikianlah fitrah kehidupan kota: bertumpu pada kepadatan yang beragam. Orang ke kota untuk mengalami dan memperoleh manfaat dari itu.



Inilah sebagian informasi dari Twitter itu:

1) Masjid Istiqlal beralamat di Jalan Katedral, karena Gereja Katedral Katolik yang lebih dulu berada pada jalan itu, yang kemudian diberi nama demikian. Tentu saja kita juga punya pengetahuan umum, bahwa arsitek perancang Masjid Istiqlal adalah Silaban, seorang Kristen.
2) Mesjid Al Azhar di Kebayoran Baru terletak pada Jalan Sisingamangaraja — nama seseorang yang bukan muslim.
3) Di Palu, Gereja Kristen Sulawesi Tengah beralamat “Jalan Mesjid Raya No 15”.
4) Di Jogjakarta, Masjid Syuhada dan gereja katedral katolik berada di Jalan I Dewa Nyoman Oka, dan Jalan Abu Bakar Ali ada di sisi selatan gereja.

Banyak rumah ibadah bukan sekedar beralamat di jalan-jalan dengan beragam nama — yang secara indah mencerminkan kebesaran bangsa Indonesia — tetapi secara apa-adanya benar-benar berada berdekatan, bahkan bersebelahan.

Di Manado dan Jakarta ada gereja dan masjid yang dindingnya benar-benar menempel satu sama lain. Dari Twitter saya juga mengetahui keadaan serupa di Denpasar, Palu, Surabaya, Solo, Medan, Pekalongan, Nias, Kudus, Malang, Jogya, Palopo, Tangerang, Palembang, Magetan, Muntok, Makassar, Ungaran, Padang, Batam, Palangkaraya, dan lain-lain.

Fakta ada begitu banyak orang mengetahui dan dengan kesungguhan hati mau memberitahu adanya informasi di atas bagi saya mencerminkan betapa bangsa kita biasa, bangga, dan menghargai keberagaman dan keberadaan bersama itu.

Yang menyesatkan adalah sikap Menteri Dalam Negeri yang mendukung keinginan Wali Kota Bogor untuk memindahkan GKI Yasmin ke tempat lain. Alasannya: menjaga ketertiban dan menghindari konflik. Ini selintas tampak rasional, tetapi sebenarnya tidak.

Sebab, bila dilakukan maka akan berarti mengalah konyol kepada tekanan sekelompok kecil orang yang salah dan justru harus ditindak! Itu bukan solusi lestari, karena mengingkari fitrah (kehidupan) kota.

Setiap orang, setiap kelompok, perlu dan harus belajar untuk hidup berdampingan dalam ruang dan waktu perkotaan yang terbatas. Kalau tidak, penduduk kota justru akan kehilangan nafas emansipasi, pertumbuhan dan kedewasaannya sendiri: keragaman itu.

Saya kira kita perlu mengimbau Menteri Dalam Negeri untuk melihat soal ini melampaui agama, dan bahwa fitrah kekotaan adalah dasar yang kokoh untuk masa depan. Terhadap Wali Kota Bogor, kita perlu mengingatkan agar tahu diri dalam mengeksploitasi agama.

Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.



Newsroom Blog - sebuah catatan