Jumat pekan lalu tersiar berita bahwa Wali Kota Bogor Diani Budiarto
melarang gereja dibangun di jalan yang bernama islami — sebuah larangan
yang terlalu dibuat-buat dan tidak masuk akal.
Tetapi yang
menarik adalah informasi yang saya dapatkan dari Twitter sepanjang
Jumat (19/8) malam hingga Sabtu dini hari. Ada berpuluh-puluh twit
mengenai keberadaan masjid, pura, kelenteng, dan gereja di berbagai
kota di seluruh Indonesia.
Selama
puluhan, bahkan ratusan tahun, rumah ibadah di kota-kota Indonesia
selalu berada dekat satu sama lain, sebagaimana sarana-sarana lainnya.
Di negeri lain, hal itu sudah berlangsung ribuan tahun.
Sebab,
demikianlah fitrah kehidupan kota: bertumpu pada kepadatan yang
beragam. Orang ke kota untuk mengalami dan memperoleh manfaat dari itu.
Inilah sebagian informasi dari Twitter itu:
1)
Masjid Istiqlal beralamat di Jalan Katedral, karena Gereja Katedral
Katolik yang lebih dulu berada pada jalan itu, yang kemudian diberi
nama demikian. Tentu saja kita juga punya pengetahuan umum, bahwa
arsitek perancang Masjid Istiqlal adalah Silaban, seorang Kristen.
2) Mesjid Al Azhar di Kebayoran Baru terletak pada Jalan Sisingamangaraja — nama seseorang yang bukan muslim.
3) Di Palu, Gereja Kristen Sulawesi Tengah beralamat “Jalan Mesjid Raya No 15”.
4)
Di Jogjakarta, Masjid Syuhada dan gereja katedral katolik berada di
Jalan I Dewa Nyoman Oka, dan Jalan Abu Bakar Ali ada di sisi selatan
gereja.
Banyak rumah ibadah bukan sekedar beralamat di
jalan-jalan dengan beragam nama — yang secara indah mencerminkan
kebesaran bangsa Indonesia — tetapi secara apa-adanya benar-benar
berada berdekatan, bahkan bersebelahan.
Di Manado dan Jakarta
ada gereja dan masjid yang dindingnya benar-benar menempel satu sama
lain. Dari Twitter saya juga mengetahui keadaan serupa di Denpasar,
Palu, Surabaya, Solo, Medan, Pekalongan, Nias, Kudus, Malang, Jogya,
Palopo, Tangerang, Palembang, Magetan, Muntok, Makassar, Ungaran,
Padang, Batam, Palangkaraya, dan lain-lain.
Fakta ada begitu
banyak orang mengetahui dan dengan kesungguhan hati mau memberitahu
adanya informasi di atas bagi saya mencerminkan betapa bangsa kita
biasa, bangga, dan menghargai keberagaman dan keberadaan bersama itu.
Yang
menyesatkan adalah sikap Menteri Dalam Negeri yang mendukung keinginan
Wali Kota Bogor untuk memindahkan GKI Yasmin ke tempat lain. Alasannya:
menjaga ketertiban dan menghindari konflik. Ini selintas tampak
rasional, tetapi sebenarnya tidak.
Sebab, bila dilakukan maka
akan berarti mengalah konyol kepada tekanan sekelompok kecil orang yang
salah dan justru harus ditindak! Itu bukan solusi lestari, karena
mengingkari fitrah (kehidupan) kota.
Setiap orang, setiap
kelompok, perlu dan harus belajar untuk hidup berdampingan dalam ruang
dan waktu perkotaan yang terbatas. Kalau tidak, penduduk kota justru
akan kehilangan nafas emansipasi, pertumbuhan dan kedewasaannya
sendiri: keragaman itu.
Saya kira kita perlu mengimbau Menteri
Dalam Negeri untuk melihat soal ini melampaui agama, dan bahwa fitrah
kekotaan adalah dasar yang kokoh untuk masa depan. Terhadap Wali Kota
Bogor, kita perlu mengingatkan agar tahu diri dalam mengeksploitasi
agama.
Marco Kusumawijaya adalah arsitek dan urbanis, peneliti dan penulis
kota. Dia juga direktur RujakCenter for Urban Studies dan editor http://klikjkt.or.id.