
Tetapi di Indonesia akte kelahiran tidak mendapat prioritas pemerintah atau masyarakat secara umum. Rupanya sistem pencatatan sipil di Indonesia yang tidak komprehensif menjadi kendala terbesar yang dihadapi dalam pelaksanaan pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak tahun 2002 mengenai akte kelahiran gratis yang diwajibkan.
Kurang lebih 60 persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Bahkan setengah dari jumlah itu tidak terdaftar di manapun. Kondisi ini memposisikan Indonesia menjadi salah satu negara terendah dalam hal pencatatan sipil dibandingkan negara lainnya.
Selain karena kurangnya pencatatan kelahiran yang komprehensif, birokrasi berbelit-belit dan sistem yang terlalu tersentralisir juga mengakibatkan masyarakat menjadi apatis untuk mencatatkan kelahiran anak mereka. Ada banyak kasus dimana oknum perantara mengambil keuntungan dari mekanisme pencatatan sipil ini. Akibatnya, orang harus membayar uang pelicin pada perantara dengan kisaran Rp100.000 sampai Rp800.000 (sekitar US$10 – US$80) untuk mengurusnya. Jelas ini membebani sebagian besar orang Indonesia. Situasi ini semakin rentan untuk pemalsuan identitas dan umur sehingga rawan terjadinya eksploitasi. Sementara itu, ketiadaan data demografis yang akurat dari pemerintah akan membuat pelaksanaan program kesehatan dan pendidikan, dan tentu bidang lainnya, tidak tepat.
sumber : unicef
0 komentar:
Posting Komentar